Tuesday, July 05, 2011

Muhammad : Keajaiban Manusia Terpuji


Ketika orang-orang musyrik mempertanyakan, mengapa risalah tidak diturunkan kepada dua intelektual besar zaman itu, dua orang paling terpelajar, dua orang yang pantas bergelar cendekiawan : Al Walid bin Al Mughirah dari Makkah atau Mas’ud bin ‘Amr Ats Tsaqafi dari Tha’if…
“Mereka berkata, ‘Mengapakah Al Quran ini tidak diturunkan pada seorang besar dari dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (Az Zukhruf : 31)
ALLAH memberi jawaban telak, yang kalau diakui jujur tak bisa dibantah bahwa memang hanya Muhammad yang pantas!
“…ALLAH lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan…” (Al An’am : 124)
“Sepuluh tahun aku tinggal dirumah Rasulullah, dan selama itu aku belum pernah mendengar kata-kata kasar dan pertengkaran.” Kesaksian Anas ibn Malik ini boleh jadi menjadi gambaran umum dari perihidup manusia paling mulia sepanjang zaman itu.
Beliau orang besar, tak ada yang membantah. Di usia dua belas tahun menjadi manajer unit usaha international Abu Thalib sampai ke Syam, dan dialah sales yang menjadi kunci sukses kafilah dengan kejujurannya. Usia duapuluhan dia menjadi pengelola utama bisnis besar yang diinvestasikan Khadijah. Dia, entrepreneur dengan sifat nabawi : shiddiq (jujur), amanah (kapabel), fathanah (smart), dan tabligh (informatif) ; sifat-sifat yang kini dirujuk teori entrepreneurship modern.
Beliau seorang panglima, administrator militer yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sepuluh tahun di Madinah, 30-an ghazwah beliau pimpin sendiri disamping 300-an sariyah (detasemen) yang beliau bentuk dan berangkatkan. Dari segi jumlah ini saja, Napoleon Bonaparte kebanggaan Eropa, George Washington ataupun Simon Bolivar-nya Amerika Latin tak ada seujung kukunya.
Adakah orator dengan daya tahan sekaligus daya mempertahankan massa seperti beliau? Menjelang wafat, beliau pernah berkhutbah setelah Shubuh sampai Dzuhur, dilanjutkan lagi sampai Ashar, lalu dilanjutkan lagi sampai Maghrib, tanpa seorang pun bosan, tertidur, mengantuk, ataupun bersuara kecuali untuk memenuhi seruan beliau. Bahkan, sebagaimana dituturkan Tsauban dalam haditsnya, para sahabat begitu terbawa suasana  sendu, semua mencucurkan air mata, seolah khutbah itu merupakan salam perpisahan dari sang kekasih tercinta. Saya ragu, apakah Soekarno dan Napoleon III mampu menyamainya.
Beliau adalah pemimpin Negara, yang saat mengimami shalat atau memimpin perjalanan jauh sempat berada, “Dimana si Fulan? Mengapa ia tak tampak?” Urwah ibn Mas’ud Ats Tsaqafy, utusan Quraisy yang menemui beliau bersaksi, “…Demi ALLAH, aku pernah menjadi utusan untuk menemui para raja, Qaishar (Caesar) dan Kisra. Demi ALLAH, tidak pernah ku lihat seorang raja yang diagung-agungkan rekan-rekannya seperti yang dilakukan rekan-rekan Muhammad terhadapnya…”
Bentuk keagungannya berbeda dengan Kisra Persia dan Qaishar Romawi. ‘Umar pernah menangis menyaksikan beliau tidur beralas tikar kulit kasar yang dijalin rerumputan, alas yang membuat punggung beliau berbekas bilur. “Sungguh Ya Rasulullah, Kisra dan Qaishar bertelekan di atas bantal dan permadani suteranya, pelayan pun hilir mudik menyediakan keperluannya, sementara kedudukanmu disisi ALLAH jauh lebih mulia…”, keluh ‘Umar. Ini salah satu keluhan yang kurang beliau sukai, tapi dengan senyum termanis yang pernah disaksikan dunia, beliau jelaskan pada sahabat yang selalu bersemangat ini, “apakah engkau tidak ridha mereka mendapat dunia sedang kita menyimpan akhirat wahai Ibnul Khaththab?”
Beliau memang penguasa yang kekuasaannya tak kalah dengan Kisra dan Qaishar, tentu beliau layak sejajar dengan mereka dalam  fasilitas. Tapi yang beliau kuasai tak cuma wilayah, rakyat, tentara, yang beliau taklukan adalah hati, untuk diseru bersama dan berpadu, mengesakan ALLAH, Ilah Yang Satu.
Beliau adalah negosiator paling brilian, sengketa Hajar Aswad dan Hudaibiyah adalah sedikit kiprahnya. Beliau juga melakukan korespondensi yang berani dengan menyurati penguasa-penguasa di zamannya termasuk Kisra, Caesar, Najasyi, dan Muqaiqus.
Syaikh Shafiyurrahman juga menyebutkan dalam Ar-Rahiqul Makhtum-nya bahwa beliau, “… mengetahui logat-logat bangsa Arab, berbicara dengan setiap kabilah Arab menurut logat masing-masing, berdialog dengan mereka menurut bahasa masing-masing. Ada kekuatan pola bahasa Badui yang cadas berhimpun pada dirinya, begitu pula kejernihan dan kejelasan cara bicara orang yang sudah beradab…”
Di balik kebesarannya, ada bayangan kebesaran  lain yang nyata sempurna dalam hidup kesehariannya. Beliau adalah suami, ayah, tetangga, juga teman duduk dan rekan seperjalanan.
Beliau adalah suami yang sempat mengajak istri balap lari. Atau meredakan kecemburuan sang istri dengan memencet hidungnya. Beliau membiasakan panggilan khumaira (yang kemerahan roman mukanya), ‘Aisy (‘Aisyah kecil) dan panggilan sayang lainnya di dalam rumah. Bahkan ia wafat dalam pelukan –sambil berciuman sampai air ludah menyatu- dengan istri tercinta. Di sela masa sibuk memimpin kaum muslimin, beliau sempat menambal baju, membersihkan terompah, bahkan menggiling gandum dan memerah susu untuk santapannya.
Tidak kaku, begitu luwes pemimpin besar ini menjadi ayah yang menimang Ibrahim sang putra. “lihatlah ‘Aisy, bukankah Ibrahim mirp denganku?”, tanyanya suatu ketika. Saat Ibrahim dipanggil ALLAH pun beliau, dalam posisi sebagai ayah yang penyayang, mengatakan, “mengalir air mata bersedih hati, namun kami tak mengatakan yang ALLAH murkai, dan sungguh dengan kematianmu wahai Ibrahim, kami begitu bersedih” (HR Muslim)
Tetangganya begitu tenteram, aman dari gangguan tangan dan lisan sebagaimana ia sabdakan. Bahkan unik, saat ia dimusuhi di Makkah, sampai saat ia hijrah, penduduk Makkah, musuh yang ingin membunuhnya pun masih percaya untuk menitipkan barang-barang miliknya pada beliau sehingga ‘Ali harus ditinggal untuk mengembalikannya. Al Amin, gelar yang tak sekedar gelar.
Beliau adalah teman duduk yang mengasyikkan, candanya tak pernah berbumbu dusta. “wahai pemilik dua telinga!”, panggilan paling lucu di Arab yang membuat sahabat tergelak ini pernah beliau serukan pada Az Zubair. Penampilan beliau begitu sederhana, tak ingin berbeda dari sahabatnya. Tetapi tetap saja beliau selalu rapi, wangi, dan menyejukkan mata. Beliau tidak suka orang-orang berdiri menyambut kedatangannya, beliau yang paling awal menjenguk orang sakit, duduk bersama kaum miskin, dan memenuhi undangan budak sahaya.
Beliau juga teman seperjalanan yang menyenangkan. Ketika tiba saat menyembelih domba dan yang lain berkata, “akulah yang akan mengulitinya”, “akulah yang akan memasaknya”, maka beliau akan segera mencari celah untuk berperan, misalnya berkata, “akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.”
Pemimpin besar ini, amat besar rasa malunya melebihi gadis dalam pingitan. Kalau dalam kepungan Ahzab para sahabat hanya mengganjal perutnya dengan satu batu, beliau mengganjal perutnya dengan dua batu. Tapi di saat itulah, di saat paling genting, ketika Madinah terjepit menunggu sapuan pasukan sekutu ‘Ahzab’, beliau adalah orang yang paling tenang dan menenangkan, bahkan memberikan motivasi dengan sesuatu yang ‘mustahil’ menurut pertimbangan akal.
Al Barra’ bin Adzib menceritakan hari-hari sulit dalam penggalian Khandaq. “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tak bisa di gali dengan cangkul. Kami melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “bismillah…”, kemudian beliau menghantam tanah keras itu sekali hantam hingga muncul percikan api.
“ALLAHU AKBAR! Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi ALLAH, aku benar-benar melihat istananya yang bercat merah saat ini”. Lalu beliau menghantam bagian tanah keras yang lain, dan kembali bersabda, “ALLAHU AKBAR! Aku diberi tanah Persia. Demi ALLAH, aku dapat melihat istana Mada’in yang berwarna putih saat ini”. Dan yang ketiga kalinya beliau bersabda, “ALLAHU AKBAR! Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi ALLAH, dari tempat ini aku bisa melihat pintu gerbang-pintu gerbang Shan’a!”
Begitulah…. Kemuliaan tak pernah jemu mengiringi setiap langkah Rasulullah sejak sebelum nubuwwah. Lalu apa yang sebenarnya yang didustakan kaum musyrikin dari beliau? At Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Ali bahwa Abu Jahl pernah mengatakan, “wahai Muhammad… kami tidak mendustakan dirimu. Tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa!”
“Mereka sebenarnya bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat ALLAH” (Al-An’am: 33)
Tapi tak pelak, risalah tauhid yang dibawanya, risalah yang menjadi tentangan musyrikin jahiliyah ini, menyentuh sisi empatik kemanusiaan, sisi yang kemudian begitu menarik perhatian, memikat jiwa-jiwa yang lelah melihat kezhaliman. Mereka telah menemukan seorang mulia, seorang mulia yang sangat menginginkan keimanan sebagai jalan keselamatan bagi mereka.
“sungguh telah datang kepadamu, seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Tentu saja, beliau bisa mengayomi kaum lemah karena beliau merasakan penderitaan mereka. Tentu juga beliau bisa menyuruh orang-orang kaya berderma karena beliau pun melakukannya lebih dari mereka. Al Amin, gelar tak sekedar gelar…

Gue Never Die, Salim A. Fillah
Hal: 51-57