Ketika orang-orang musyrik mempertanyakan, mengapa risalah tidak diturunkan kepada dua intelektual besar
zaman itu, dua orang paling terpelajar, dua orang yang pantas bergelar
cendekiawan : Al Walid bin Al Mughirah dari Makkah atau Mas’ud bin ‘Amr Ats
Tsaqafi dari Tha’if…
“Mereka
berkata, ‘Mengapakah Al Quran ini tidak diturunkan pada seorang besar dari dua
negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (Az Zukhruf : 31)
ALLAH memberi jawaban telak,
yang kalau diakui jujur tak bisa dibantah bahwa memang hanya Muhammad yang
pantas!
“…ALLAH
lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan…” (Al
An’am : 124)
“Sepuluh tahun aku tinggal
dirumah Rasulullah, dan selama itu aku belum pernah mendengar kata-kata kasar
dan pertengkaran.” Kesaksian Anas ibn Malik ini boleh jadi menjadi gambaran
umum dari perihidup manusia paling mulia sepanjang zaman itu.
Beliau orang besar, tak ada
yang membantah. Di usia dua belas tahun menjadi manajer unit usaha
international Abu Thalib sampai ke Syam, dan dialah sales yang menjadi kunci
sukses kafilah dengan kejujurannya. Usia duapuluhan dia menjadi pengelola utama
bisnis besar yang diinvestasikan Khadijah. Dia, entrepreneur dengan sifat
nabawi : shiddiq (jujur), amanah (kapabel), fathanah (smart), dan tabligh
(informatif) ; sifat-sifat yang kini dirujuk teori entrepreneurship modern.
Beliau seorang panglima,
administrator militer yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sepuluh tahun di
Madinah, 30-an ghazwah beliau pimpin
sendiri disamping 300-an sariyah (detasemen)
yang beliau bentuk dan berangkatkan. Dari segi jumlah ini saja, Napoleon
Bonaparte kebanggaan Eropa, George Washington ataupun Simon Bolivar-nya Amerika
Latin tak ada seujung kukunya.
Adakah orator dengan daya
tahan sekaligus daya mempertahankan massa seperti beliau? Menjelang wafat,
beliau pernah berkhutbah setelah Shubuh sampai Dzuhur, dilanjutkan lagi sampai
Ashar, lalu dilanjutkan lagi sampai Maghrib, tanpa seorang pun bosan, tertidur,
mengantuk, ataupun bersuara kecuali untuk memenuhi seruan beliau. Bahkan,
sebagaimana dituturkan Tsauban dalam haditsnya, para sahabat begitu terbawa
suasana sendu, semua mencucurkan air
mata, seolah khutbah itu merupakan salam perpisahan dari sang kekasih tercinta.
Saya ragu, apakah Soekarno dan Napoleon III mampu menyamainya.
Beliau adalah pemimpin Negara,
yang saat mengimami shalat atau memimpin perjalanan jauh sempat berada, “Dimana
si Fulan? Mengapa ia tak tampak?” Urwah
ibn Mas’ud Ats Tsaqafy, utusan Quraisy yang menemui beliau bersaksi, “…Demi ALLAH,
aku pernah menjadi utusan untuk menemui para raja, Qaishar (Caesar) dan Kisra.
Demi ALLAH, tidak pernah ku lihat seorang raja yang diagung-agungkan
rekan-rekannya seperti yang dilakukan rekan-rekan Muhammad terhadapnya…”
Bentuk keagungannya berbeda
dengan Kisra Persia dan Qaishar Romawi. ‘Umar pernah menangis menyaksikan
beliau tidur beralas tikar kulit kasar yang dijalin rerumputan, alas yang
membuat punggung beliau berbekas bilur. “Sungguh Ya Rasulullah, Kisra dan
Qaishar bertelekan di atas bantal dan permadani suteranya, pelayan pun hilir
mudik menyediakan keperluannya, sementara kedudukanmu disisi ALLAH jauh lebih
mulia…”, keluh ‘Umar. Ini salah satu keluhan yang kurang beliau sukai, tapi
dengan senyum termanis yang pernah disaksikan dunia, beliau jelaskan pada
sahabat yang selalu bersemangat ini, “apakah engkau tidak ridha mereka mendapat
dunia sedang kita menyimpan akhirat wahai Ibnul Khaththab?”
Beliau memang penguasa yang
kekuasaannya tak kalah dengan Kisra dan Qaishar, tentu beliau layak sejajar
dengan mereka dalam fasilitas. Tapi yang
beliau kuasai tak cuma wilayah, rakyat, tentara, yang beliau taklukan adalah
hati, untuk diseru bersama dan berpadu, mengesakan ALLAH, Ilah Yang Satu.
Beliau adalah negosiator
paling brilian, sengketa Hajar Aswad dan Hudaibiyah adalah sedikit kiprahnya.
Beliau juga melakukan korespondensi yang berani dengan menyurati
penguasa-penguasa di zamannya termasuk Kisra, Caesar, Najasyi, dan Muqaiqus.
Syaikh Shafiyurrahman juga
menyebutkan dalam Ar-Rahiqul Makhtum-nya bahwa beliau, “… mengetahui
logat-logat bangsa Arab, berbicara dengan setiap kabilah Arab menurut logat
masing-masing, berdialog dengan mereka menurut bahasa masing-masing. Ada kekuatan
pola bahasa Badui yang cadas berhimpun pada dirinya, begitu pula kejernihan dan
kejelasan cara bicara orang yang sudah beradab…”
Di balik kebesarannya, ada
bayangan kebesaran lain yang nyata
sempurna dalam hidup kesehariannya. Beliau adalah suami, ayah, tetangga, juga
teman duduk dan rekan seperjalanan.
Beliau adalah suami yang
sempat mengajak istri balap lari. Atau meredakan kecemburuan sang istri dengan
memencet hidungnya. Beliau membiasakan panggilan khumaira (yang kemerahan roman
mukanya), ‘Aisy (‘Aisyah kecil) dan panggilan sayang lainnya di dalam rumah.
Bahkan ia wafat dalam pelukan –sambil berciuman sampai air ludah menyatu-
dengan istri tercinta. Di sela masa sibuk memimpin kaum muslimin, beliau sempat
menambal baju, membersihkan terompah, bahkan menggiling gandum dan memerah susu
untuk santapannya.
Tidak kaku, begitu luwes
pemimpin besar ini menjadi ayah yang menimang Ibrahim sang putra. “lihatlah
‘Aisy, bukankah Ibrahim mirp denganku?”, tanyanya suatu ketika. Saat Ibrahim
dipanggil ALLAH pun beliau, dalam posisi sebagai ayah yang penyayang,
mengatakan, “mengalir air mata bersedih hati, namun kami tak mengatakan yang
ALLAH murkai, dan sungguh dengan kematianmu wahai Ibrahim, kami begitu
bersedih” (HR Muslim)
Tetangganya begitu tenteram,
aman dari gangguan tangan dan lisan sebagaimana ia sabdakan. Bahkan unik, saat
ia dimusuhi di Makkah, sampai saat ia hijrah, penduduk Makkah, musuh yang ingin
membunuhnya pun masih percaya untuk menitipkan barang-barang miliknya pada
beliau sehingga ‘Ali harus ditinggal untuk mengembalikannya. Al Amin, gelar
yang tak sekedar gelar.
Beliau adalah teman duduk yang
mengasyikkan, candanya tak pernah berbumbu dusta. “wahai pemilik dua telinga!”,
panggilan paling lucu di Arab yang membuat sahabat tergelak ini pernah beliau
serukan pada Az Zubair. Penampilan beliau begitu sederhana, tak ingin berbeda
dari sahabatnya. Tetapi tetap saja beliau selalu rapi, wangi, dan menyejukkan
mata. Beliau tidak suka orang-orang berdiri menyambut kedatangannya, beliau
yang paling awal menjenguk orang sakit, duduk bersama kaum miskin, dan memenuhi
undangan budak sahaya.
Beliau juga teman seperjalanan
yang menyenangkan. Ketika tiba saat menyembelih domba dan yang lain berkata,
“akulah yang akan mengulitinya”, “akulah yang akan memasaknya”, maka beliau
akan segera mencari celah untuk berperan, misalnya berkata, “akulah yang akan
mengumpulkan kayu bakarnya.”
Pemimpin besar ini, amat besar
rasa malunya melebihi gadis dalam pingitan. Kalau dalam kepungan Ahzab para
sahabat hanya mengganjal perutnya dengan satu batu, beliau mengganjal perutnya
dengan dua batu. Tapi di saat itulah, di saat paling genting, ketika Madinah
terjepit menunggu sapuan pasukan sekutu ‘Ahzab’, beliau adalah orang yang
paling tenang dan menenangkan, bahkan memberikan motivasi dengan sesuatu yang
‘mustahil’ menurut pertimbangan akal.
Al Barra’ bin Adzib
menceritakan hari-hari sulit dalam penggalian Khandaq. “Saat menggali parit, di
beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tak bisa di
gali dengan cangkul. Kami melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau
datang, mengambil cangkul dan bersabda, “bismillah…”, kemudian beliau
menghantam tanah keras itu sekali hantam hingga muncul percikan api.
“ALLAHU AKBAR! Aku diberi
kunci-kunci Syam. Demi ALLAH, aku benar-benar melihat istananya yang bercat
merah saat ini”. Lalu beliau menghantam bagian tanah keras yang lain, dan
kembali bersabda, “ALLAHU AKBAR! Aku diberi tanah Persia. Demi ALLAH, aku dapat
melihat istana Mada’in yang berwarna putih saat ini”. Dan yang ketiga kalinya
beliau bersabda, “ALLAHU AKBAR! Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi ALLAH, dari
tempat ini aku bisa melihat pintu gerbang-pintu gerbang Shan’a!”
Begitulah…. Kemuliaan tak
pernah jemu mengiringi setiap langkah Rasulullah sejak sebelum nubuwwah. Lalu
apa yang sebenarnya yang didustakan kaum musyrikin dari beliau? At Tirmidzi
meriwayatkan dari ‘Ali bahwa Abu Jahl pernah mengatakan, “wahai Muhammad… kami
tidak mendustakan dirimu. Tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa!”
“Mereka
sebenarnya bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari
ayat-ayat ALLAH” (Al-An’am: 33)
Tapi tak pelak, risalah tauhid
yang dibawanya, risalah yang menjadi tentangan musyrikin jahiliyah ini,
menyentuh sisi empatik kemanusiaan, sisi yang kemudian begitu menarik
perhatian, memikat jiwa-jiwa yang lelah melihat kezhaliman. Mereka telah
menemukan seorang mulia, seorang mulia yang sangat menginginkan keimanan
sebagai jalan keselamatan bagi mereka.
“sungguh
telah datang kepadamu, seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah:
128)
Tentu saja, beliau bisa
mengayomi kaum lemah karena beliau merasakan penderitaan mereka. Tentu juga
beliau bisa menyuruh orang-orang kaya berderma karena beliau pun melakukannya
lebih dari mereka. Al Amin, gelar tak sekedar gelar…
Gue Never Die, Salim A. Fillah
Hal: 51-57
No comments:
Post a Comment